ASAL MULA DALIHAN NA TOLU
Pada suatu hari Raja Panggana yang terkenal
pandai memahat dan mengukir mengadakan pengembaraan keliling negeri. Untuk
biaya hidupnya, Raja Panggana sering memenuhi permintaan penduduk untuk memahat
patung atau mengukir rumah. Walaupun sudah banyak negeri yang dilaluinya dan
banyak sudah patung dan ukiran yang dikerjakannya, masih terasa padanya sesuatu
kekurangan yang membuat dirinya selalu gelisah.
Untuk menghilangkan kegelisahannya, ia hendak
mengasingkan diri pada satu tempat yang sunyi. Di dalam perjalanan di padang belantara yang penuh dengan alang-alang ia sangat
tertarik pada sebatang pohon tunggal yang hanya itu saja terdapat pada padang belantara tersebut.
Melihat sebatang pohon tunggal itu Raja Panggana tertegun. Diperhatikannya
dahan pohon itu, ranting dan daunnya. Entah apa yang tumbuh pada diri Raja Panggana, ia melihat pohon itu seperti
putri menari. Dikeluarkannya alat-alatnya, ia mulai bekerja memahat pohon itu
menjadi patung seorang putri yang sedang menari. Ia sangat senang, gelisah
hilang. Sebagai seorang seniman ia baru pernah mengagumi hasil kerjanya yang
begitu cantik dan mempesona. Seolah-olah dunia ini telah menjadi miliknya.
Makin dipandangnya hasil kerjanya, semakin terasa pada dirinya suatu keagungan.
Pada pandangan yang demikian, ia melihat patung putri itu mengajaknya untuk menari bersama. Ia menari bersama patung dipadang belantara yang sunyi tiada orang. Demikianlah kerja Raja Panggana hari demi hari bersama putri yang diciptakannya dari sebatang kayu. Raja Panggana merasa senang dan bahagia bersama patung putri. Tetapi apa hendak dikata, persediaan makanan Raja Panggana semakin habis. Apakah gunanya saya tetap bersama patung ini kalau tidak makan ? biarlah saya menari sepuas hatiku dengan patung ini untuk terakhir kali. Demikian Raja Panggana dengan penuh haru meninggalkan patung itu. dipadang rumput yang sunyi sepi tiada berkawan. Raja Panggana sudah menganggap patung putri itu sebagian dari hidupnya.
Pada pandangan yang demikian, ia melihat patung putri itu mengajaknya untuk menari bersama. Ia menari bersama patung dipadang belantara yang sunyi tiada orang. Demikianlah kerja Raja Panggana hari demi hari bersama putri yang diciptakannya dari sebatang kayu. Raja Panggana merasa senang dan bahagia bersama patung putri. Tetapi apa hendak dikata, persediaan makanan Raja Panggana semakin habis. Apakah gunanya saya tetap bersama patung ini kalau tidak makan ? biarlah saya menari sepuas hatiku dengan patung ini untuk terakhir kali. Demikian Raja Panggana dengan penuh haru meninggalkan patung itu. dipadang rumput yang sunyi sepi tiada berkawan. Raja Panggana sudah menganggap patung putri itu sebagian dari hidupnya.
Berselang beberapa hari kemudian, seorang
pedagang kain dan hiasan berlalu dari tempat itu. Baoa Partigatiga demikian
nama pedagang itu tertegun melihat kecantikan dan gerak sikap tari patung putri
itu. Alangkah cantiknya si patung ini apabila saya beri berpakaian dan
perhiasan. Baoa Partigatiga membuka kain dagangannya. Dipilihnya pakaian dan
perhiasan yang cantik dan dipakaikannya kepada patung sepuas hatinya. Ia
semakin terharu pada Baoa Partigatiga belum pernah melihat patung ataupun
manusia secantik itu. dipandanginya patung tadi seolah-olah ia melihat patung
itu mengajaknya menari.
Menarilah
Baoa Partigatiga mengelilingi patung sepuas hatinya. Setelah puas menari ia
berusaha membawa patung dengannya tetapi tidak dapat, karena hari sudah makin
gelap, ia berpikir kalau patung ini tidak kubawa biarlah pakaian dan perhiasan
ini kutanggalkan. Tetapi apa yang terjadi, pakaian dan perhiasan tidak dapat
ditanggalkan Baoa Partigatiga. Makin dicoba kain dan perhiasan makin ketat melekat pada patung. Baoa
Partigatiga berpikir, biarlah demikian. Untuk kepuasan hatiku baiklah aku
menari sepuas hatiku untuk terakhir kali dengan patung ini. Iapun menari dengan
sepuas hatinya. Ditinggalkannya patung itu dengan penuh haru ditempat yang
sunyi dan sepi dipadang rumput tiada berkawam.
Entah
apa yang mendorong, entah siapa yang menyuruh seorang dukun perkasa yang tiada
bandingannya di negeri itu berlalu dari padang rumput tempat patung tengah
menari. Datu Partawar demikian nama dukun. Perkasa terpesona melihat patung di
putri. Alangkah indahnya patung ini apabila bernyawa. Sudah banyak negeri
kujalani, belum pernah melihat patung ataupun manusia secantik ini. Datu
Partawar berpikir mungkin ini suatu takdir. Banyak sudah orang yang kuobati dan
sembuh dari penyakit. Itu semua dapat kulakukan berkat Yang Maha Kuasa.
Banyak
cobaan pada diriku diperjalanan malahan segala aji-aji orang dapat dilumpuhkan
bukan karena aku, tetapi karena ia Yang Maha Agung yang memberikan tawar ini
kepadaku. Tidak salah kiranya apabila saya menyembah Dia Yang Maha Agung dengan
tawar yang diberikannya padaku, agar berhasil membuat patung ini bernyawa.
Dengan tekad yang ada padanya ini Datu Partawar menyembah menengadah keatas
dengan mantra, lalu menyapukan tawar yang ada pada tangannya kepada patung.
Tiba-tiba halilintar berbunyi menerpa patung. Sekitar patung diselimuti embun
putih penuh cahaya.
Waktu
embun putih berangsur hilang nampaklah seorang putri jelita datang bersujud
menyembah Datu Partawar. Datu Partawar menarik tangan putri, mencium keningnya
lalu berkata : mulai saat ini kau kuberi nama Putri Naimanggale. Kemudian Datu
Partawar mengajak Putri Naimanggale pulang kerumahnya.
Konon
kata cerita kecantikan Putri Naimanggale tersiar ke seluruh negeri. Para
perjaka menghias diri lalu bertandang ke rumah Putri Naimanggale. Banyak sudah
pemuda yang datang tetapi belum ada yang berkenan pada hati Putri Naimanggale.
Berita kecantikan Putri Naimenggale sampai pula ketelinga Raja Panggana dan
Baoa Partigatiga. Alangkah terkejutnya Raja Panggana setelah melihat Putri
Naimanggale teringat akan sebatang kayu yang dipahat menjadi patung manusia.
Demikian
pula Baoa Partigatiga sangat heran melihat kain dan hiasan yang dipakai Putri
Naimanggale adalah pakaian yang dikenakannya kepada Patung, Putri dipadang
rumput. Ia mendekati Putri Naimanggale dan meminta pakaian dan hiasan itu
kembali tetapi tidak dapat karena tetap melekat di Badan Putri Naimanggale.
Karena pakaian dan hiasan itu tidak dapat terbuka lalu Baoa Partigatiga
menyatakan bahwa Putri Naimanggale adalah miliknya. Raja Panggana menolak
malahan balik menuntut Putri Naimanggale adalah miliknya karena dialah yang
memahatnya dari sebatang kayu. Saat itu pula muncullah Datu Partawar dan tetap
berpendapat bahwa Putri Naimanggale adalah miliknya. Apalah arti patung dan
kain kalau tidak bernyawa. Sayalah yang membuat nyawanya maka ia berada di
dalam kehidupan. Apapun kata kalian itu tidak akan terjadi apabila saya sendiri
tidak memahat patung itu dari sebatang kayu. Baoa Partigatiga tertarik
memberikan pakaian dan perhiasan karena pohon kayu itu telah menajdi patung
yang sangat cantik. Jadi Putri Naimanggale adalah milik saya kata Raja
Panggana. Baoa Partigatiga balik protes dan mengatakan, Datu Partawar tidak
akan berhasrat membuat patung itu bernyawa jika patung itu tidak kuhias dengan
pakaian dan hiasan. Karena hiasan itu tetap melekat pada tubuh patung maka Raja
Partawar memberi nyawa padanya. Datu Partawar mengancam, dan berkata apalah
arti patung hiasan jika tidak ada nyawanya ? karena sayalah yang membuat
nyawanya, maka tepatlah saya menjadi pemilik Putri Naimanggale. Apabila tidak
maka Putri Naimanggale akan kukembalikan kepada keadaan semula. Raja Panggana
dan Baoa Partigatiga berpendapat lebih baiklah Putri Naimanggale kembali kepada
keadaan semula jika tidak menjadi miliknya.
Demikianlah
pertengkaran mereka bertiga semakin tidak ada keputusan. Karena sudah
kecapekan, mereka mulai sadar dan mempergunakan pikiran satu sama lain. Pada
saat yang demikian Datu Partawar menyodorkan satu usul agar masalah ini
diselesaikan dengan hati tenang didalam musyawarah. Raja Panggana dan Baoa Partigatiga mulai mendengar
kata-kata Datu Partawar. Datu Partawar berkata : marilah kita menyelesaikan
masalah ini dengan hati tenang didalam musyawarah dan musyawarah ini kita
pergunakan untuk mendapatkan kata sepakat. Apabila kita saling menuntut akan
Putri Naimanggale sebagai miliknya saja, kerugianlah akibatnya karena kita
saling berkelahi dan Putri Naimanggale akan kembali kepada keadaannya semula
yaitu patung yang diberikan hiasan. Adakah kita didalam tuntutan kita,
memikirkan kepentingan Putri Naimanggale? Kita harus sadar, kita boleh menuntut
tetapi jangan menghilangkan harga diri dan pribadi Putri Naimanggale.
Tuntutan
kita harus kita dasarkan demi kepetingan Putri Naimanggale bukan demi
kepentingan kita. Putri Naimanggale saat sekarang ini bukan patung lagi tetapi
sudah menjadi manusia yang bernyawa yang dituntut masing-masing kita bertiga.
Tuntutan kita bertiga memang pantas, tetapi marilah masing-masing tuntutan kita
itu kita samakan demi kepentingan Putri Naimanggale.
Raja
Panggana dan Baoa Partigatiga mengangguk-angguk tanda setuju dan bertanya
apakah keputusan kita Datu Partawar ? Datu Partawar menjawab, Putri Naimanggale
adalah milik kita bersama. Mana mungkin, bagaimana kita membaginya. Maksud saya
bukan demikian, bukan untuk dibagi sahut Datu Partawar. Demi kepentingan Putri
Naimanggale marilah kita tanyakan pendiriannya. Mereka bertiga menanyakan
pendirian Putri Naimanggale.
Dengan
mata berkaca-kaca karena air mata, air mata keharuan dan kegembiraan Putri
Naimanggale berkata : “Saya sangat gembira hari ini, karena kalian bertiga
telah bersama-sama menanyakan pendirian saya. Saya sangat menghormati dan
menyayangi kalian bertiga, hormat dan kasih sayang yang sama, tiada lebih tiada
kurang demi kebaikan kita bersama. Saya menjadi tiada arti apabila kalian
cekcok dan saya akan sangat berharga apabila kalian damai. Mendengar kata-kata
Putri Naimanggale itu mereka bertiga tersentak dari lamunan keakuannya
masing-masing, dan memandang satu sama lain. Datu Partawar berdiri lalu berkata
: Demi kepentingan Putri Naimanggale dan kita bertiga kita tetapkan keputusan
kita :
a.
Karena Raja Panggana yang memahat sebatang kayu menjadi patung, maka pantaslah
ia menjadi Ayah dari Putri Naimanggale. SUHUT
b.
Karena Baoa Partigatiga yang memberi pakaian dan hiasan kepada patung, maka
pantaslah ia menjadi Amangboru dari Putri Naimanggale. BORU
c. Karena Datu Partawar yang memberikan nyawa dan berkat kepada patung, maka pantaslah ia menjadi Tulang dari Putri Naimanggale. HULA-HULA
Mereka
bertiga setuju akan keputusan itu dan sejak itu mereka membuat perjanjian,
padan atau perjanjian mereka disepakati dengan :
Pertama, bahwa demi kepentingan Putri Naimanggale Raja Panggana, Baoa Partigatiga dan Datu Partawar akan menyelesaikan semua permasalahan yang terjadi dan mungkin terjadi dengan jalan musyawarah.
Pertama, bahwa demi kepentingan Putri Naimanggale Raja Panggana, Baoa Partigatiga dan Datu Partawar akan menyelesaikan semua permasalahan yang terjadi dan mungkin terjadi dengan jalan musyawarah.
Kedua,
bahwa demi kepentingan Putri Naimanggale dan turunannya kelak, Putri
Naimanggale dan turunannya harus mematuhi setiap keputusan dari Raja Panggana,
Baoa Partigatiga dan Datu Partawar.
Demikian
legenda PUTRI NAI MANGGALE yang menggambarkan (turi-turian) asal muasal DALIHAN
NA TOLU didalam kekerabatan Batak. Dari cerita tersebut, bahwa hakikat DNT
adalah musyawarah untuk menyelesaikan masalah demi kebaikan orang yang dikasihi
dalam hal ini PUTRI NAI MANGGALE.
(ditulis
ulang dari Buku DALIHAN NATOLU NILAI BUDAYA SUKU BATAK; Oleh Drs. DJ. GULTOM
RAJAMARPODANG)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Silahkan tuliskan komentar Anda ?